Sukses

Health

Langkah Kecil Menuju Pulih, Ketika Perawatan dan Kepatuhan Menjadi Pelita bagi Pengidap Bipolar dan Skizofrenia

Fimela.com, Jakarta Pemulihan bukanlah proses yang instan, apalagi bagi individu yang hidup dengan gangguan jiwa seperti bipolar dan skizofrenia. Dua kondisi ini bukan hanya memengaruhi kesehatan mental, tetapi juga berdampak pada kualitas hidup, hubungan sosial, dan kemampuan menjalani aktivitas sehari-hari.

Di Indonesia, gangguan skizofrenia menjadi salah satu perhatian utama dalam bidang kesehatan jiwa. Berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018, prevalensi skizofrenia di Indonesia mencapai 6,7 per 1.000 penduduk, mengalami peningkatan dari angka 5,7 per 1.000 penduduk pada tahun 2013. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan penanganan yang komprehensif dan berkelanjutan semakin mendesak.

Meski terdengar menantang, harapan untuk pulih bukanlah hal yang mustahil. Dengan perawatan yang tepat dan kepatuhan terhadap pengobatan, banyak individu dengan bipolar maupun skizofrenia mampu menjalani hidup yang lebih stabil dan bermakna. Langkah kecil seperti minum obat secara rutin, hadir dalam sesi terapi, hingga mendapatkan dukungan dari keluarga dan komunitas, bisa menjadi pelita dalam proses panjang menuju pemulihan. Artikel ini akan mengulas bagaimana kepatuhan dan perawatan yang konsisten dapat membuka jalan bagi mereka untuk bangkit dan menemukan kembali harapan dalam hidup.

Mengenal Skizofrenia dan Gangguan Bipolar

Skizofrenia dan gangguan bipolar adalah dua kondisi gangguan jiwa yang tergolong kronis dan serius. Keduanya sering disalahpahami oleh masyarakat awam, padahal karakteristik, penyebab, hingga cara penanganannya sangat berbeda. Memahami perbedaan dan keunikan masing-masing gangguan ini menjadi langkah awal untuk membangun empati, meningkatkan literasi kesehatan jiwa, dan mendukung proses pemulihan para penyintasnya.

Skizofrenia merupakan gangguan mental kronis yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Gangguan ini membuat penderitanya sulit membedakan antara kenyataan dan halusinasi atau delusi. Seseorang dengan skizofrenia bisa mengalami halusinasi (seperti mendengar suara yang tidak nyata), delusi (keyakinan yang salah tetapi diyakini benar), dan bicara atau perilaku yang tidak terorganisir. Skizofrenia berdampak besar terhadap fungsi sosial, pekerjaan, dan kehidupan sehari-hari pasien.

Sementara itu, gangguan bipolar adalah kondisi yang ditandai oleh perubahan ekstrem dalam suasana hati, energi, dan tingkat aktivitas. Penderita dapat mengalami episode mania—dengan gejala seperti semangat berlebihan, percaya diri tinggi, sedikit tidur, hingga perilaku impulsif—dan episode depresi—yang ditandai dengan kesedihan mendalam, kelelahan, hilangnya minat, bahkan pikiran bunuh diri. Dalam beberapa kasus, penderita mengalami gejala mania dan depresi secara bersamaan (episode campuran). Tipe yang paling berat adalah Bipolar I, yang ditandai dengan episode mania intens yang bisa berlangsung lebih dari seminggu dan berpotensi disertai psikosis.

Meski berbeda, kedua kondisi ini bisa menyebabkan gangguan fungsi sosial yang berat. Baik skizofrenia maupun bipolar menuntut pengobatan jangka panjang dan dukungan menyeluruh dari sistem kesehatan, keluarga, dan masyarakat. Yang menjadi tantangan adalah tingkat kepatuhan terhadap pengobatan yang masih rendah, baik karena stigma, efek samping obat, maupun kurangnya pemahaman tentang penyakit.

Tanda-Tanda Umum Skizofrenia

Tanda-tanda skizofrenia dapat dikenali melalui tiga kelompok gejala utama, yakni positif, negatif, dan kognitif.

  • Gejala positif meliputi halusinasi, delusi, dan disorganisasi pikiran atau perilaku. Misalnya, pasien mungkin mendengar suara-suara yang tidak didengar orang lain, memiliki keyakinan tidak realistis seperti merasa dikejar-kejar, atau berbicara dalam kalimat yang membingungkan.
  • Gejala negatif mencerminkan penurunan fungsi yang normal, seperti kurangnya motivasi, ketidakmampuan mengekspresikan emosi, menarik diri dari pergaulan, serta mengabaikan kebersihan diri.
  • Gejala kognitif mencakup kesulitan konsentrasi, gangguan memori, serta kesulitan dalam berpikir logis dan membuat keputusan.

Gejala-gejala ini bisa muncul secara bertahap, dimulai dari fase prodromal (perubahan perilaku yang samar), berlanjut ke gejala utama atau first-rank symptoms, dan kemudian memengaruhi fungsi sosial secara signifikan. Banyak pasien mengalami perubahan emosional, seperti depresi dan iritabilitas, sebelum akhirnya menerima diagnosis.

Tahapan Perjalanan dan Risiko Skizofrenia

Perjalanan skizofrenia umumnya mengikuti tahapan tertentu yang dapat memengaruhi kualitas hidup penderitanya. Pada tahap pertama, yaitu gejala prodromal, perubahan perilaku yang halus mulai muncul, seperti menarik diri dari pergaulan atau perubahan cara berpikir yang sedikit aneh. Pada tahap ini, seringkali gejalanya tidak begitu terlihat jelas, sehingga banyak orang di sekitar penderita tidak menyadari adanya masalah.

Selanjutnya, pada tahap gejala utama, gejala seperti halusinasi, delusi, dan bicara yang tidak terorganisir menjadi lebih nyata dan mengganggu fungsi sosial pasien. Hal ini membuat penderita kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tahap berikutnya adalah gangguan fungsi sosial yang lebih parah, di mana pasien mengalami kesulitan dalam mempertahankan hubungan sosial, pekerjaan, dan aktivitas sehari-hari lainnya. Perubahan emosional juga sering muncul pada tahap ini, seperti perasaan depresi, kecemasan, atau mudah marah.

Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengidap skizofrenia meliputi faktor genetik, seperti riwayat keluarga dengan gangguan serupa, serta faktor neurobiologis seperti ketidakseimbangan zat kimia di otak, terutama dopamin dan glutamat. Selain itu, trauma masa kecil, stres berat, dan komplikasi kelahiran juga bisa menjadi faktor risiko. Penyalahgunaan zat, khususnya ganja dan obat psikoaktif, juga dapat memicu gejala pada individu yang rentan terhadap gangguan ini.

 

 

 

Tantangan Terbesar: Kepatuhan terhadap Pengobatan

Menurut Dr. dr. Khamelia Malik, SpKJ(K) dari FKUI-RSCM, tantangan terbesar dalam penanganan skizofrenia dan bipolar adalah tingkat ketidakpatuhan terhadap pengobatan, baik di kalangan remaja maupun dewasa. Banyak pasien yang merasa sudah sembuh lalu menghentikan obat, atau berhenti karena efek samping seperti kantuk berat, kenaikan berat badan, atau kekakuan otot.

“Padahal, dengan obat-obat generasi baru yang lebih ringan, pasien bisa menjalani terapi dengan lebih nyaman. Obat-obatan seperti aripiprazole, cariprazine, dan brexpiprazole kini banyak digunakan dengan efek samping yang jauh lebih minimal,” jelas dr. Khamelia.

Beliau juga menekankan pentingnya dukungan keluarga dan strategi coping adaptif, termasuk edukasi, terapi psikososial, dan pemanfaatan teknologi seperti aplikasi pengingat obat, pemantauan mood, hingga pelatihan manajemen stres.

Harapan pada Anak dan Remaja

Kasus gangguan bipolar dan skizofrenia kini juga banyak ditemukan pada anak dan remaja. Prof. Dr. dr. Tjhin Wiguna, Subspesialis Psikiatri Anak dan Remaja, mengingatkan bahwa gejala awal sering kali dianggap sebagai kenakalan atau perubahan wajar usia remaja. Akibatnya, banyak kasus tidak tertangani secara dini.

Padahal, dengan intervensi yang cepat dan dukungan dari keluarga, anak dan remaja bisa tetap tumbuh dan berkembang secara normal. Terapi multidisiplin seperti psikoterapi, terapi keluarga, hingga intervensi pendidikan dan sosial menjadi bagian penting dari tatalaksana jangka panjang.

Pemulihan Itu Nyata: Bukti Klinis

Sebuah studi yang dilakukan di RSCM pada tahun 2016–2018 terhadap pasien skizofrenia rawat jalan menunjukkan hasil positif, yakni sebanyak 61% mencapai remisi dalam 6 bulan dan sebanyak 80% mencapai remisi dalam 12 bulan.

Faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan meliputi:

  • Konsistensi minum obat (kepatuhan tinggi)
  • Gejala negatif yang membaik
  • Tidak adanya riwayat gangguan jiwa dalam keluarga
  • Dukungan keluarga yang kuat
  • Onset penyakit yang tidak terlalu dini

 

On GB (Gangguan Bipolar) dan Skizofrenia: Kolaborasi Penting dalam Penanganan

GB dan Skizofrenia memang merupakan dua kondisi yang berbeda dalam hal gejala dan penanganannya, tetapi keduanya memerlukan pendekatan yang serupa dalam terapi jangka panjang, termasuk perhatian terhadap kepatuhan pengobatan dan dukungan sosial. Hanadi Setiarto, Country Group Head Wellesta CPI menyatakan, “Sebagai perusahaan yang fokus pada bidang kesehatan dan teknologi medis, Wellesta berkomitmen terhadap kesehatan dan kualitas hidup pasien, termasuk untuk pasien depresi dengan GB I dan Skizofrenia. Kami menyadari, jika tidak diatasi dengan baik, kejadian depresi dengan GB I dan Skizofrenia akan terus bertambah, yang berpotensi menurunkan kualitas hidup dan meningkatkan risiko penyakit fisik lain.”

Wellesta bekerja sama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) untuk membantu individu dengan GB I dan Skizofrenia, serta berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kondisi ini. Kolaborasi ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang gejala awal, mendukung pengobatan, serta memberikan akses kepada bantuan yang tepat.

Sistem yang Mendukung: Peran Pemerintah dan Regulasi

Menurut dr. Minerva Theodora Simatupang, M.K.M., perwakilan dari Kementerian Kesehatan RI, rendahnya literasi masyarakat mengenai kesehatan jiwa masih menjadi penghalang terbesar dalam upaya promotif dan preventif. "Masih banyak masyarakat yang takut atau malu untuk mencari bantuan. Ini tidak hanya memperparah kondisi pasien, tapi juga memperbesar risiko putus pengobatan,” jelasnya.

Untuk itu, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, yang menjamin hak-hak penyandang gangguan jiwa untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu, bebas stigma, dan inklusif. UU ini juga menekankan pentingnya partisipasi keluarga dan masyarakat dalam sistem pemulihan yang terpadu.

Menyalakan Pelita di Tengah Jalan Gelap

Pemulihan dari gangguan bipolar dan skizofrenia bukan perjalanan yang mudah, tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil. Setiap langkah kecil, mulai dari memahami gejala, datang ke sesi terapi, minum obat secara teratur, hingga menerima dukungan dari orang-orang tercinta adalah pelita yang menerangi jalan panjang menuju pulih.

Dengan kemajuan dalam dunia medis, dukungan regulasi dari pemerintah, serta keterlibatan komunitas dan institusi seperti Wellesta dan PDSKJI, kini saatnya kita mematahkan stigma dan membuka jalan menuju pemulihan yang utuh bagi setiap individu yang tengah berjuang dalam sunyi.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading
OSZAR »