Sukses

Lifestyle

Retail Therapy: Saat Belanja Jadi Pelarian dari Emosi yang Tak Tersampaikan

Fimela.com, Jakarta Ada momen ketika tekanan hidup terasa sulit untuk diartikan atau dicerna dengan baik. Bukannya menangis atau meluapkannya lewat kata, kita justru menuju keranjang belanja, baik fisik maupun virtual. Seolah-olah barang baru mampu menambal kekosongan yang bahkan tak bisa dijelaskan dengan logika. Dan anehnya, itu bekerja. Setidaknya, untuk sesaat.

Namun, apakah dorongan untuk “self-reward” lewat belanja benar-benar sesederhana mencari kebahagiaan instan? Atau jangan-jangan, ada emosi yang terpendam dan mengalir lewat pilihan-pilihan barang yang kita beli? Sahabat Fimela, mari kita ungkap bagaimana retail therapy bisa menjadi pelarian emosional, sekaligus jebakan halus jika tak dikendalikan dengan bijak.

1. Belanja sebagai Mekanisme Pelarian

Daripada berhadapan dengan rasa sedih atau kekosongan yang membingungkan, sebagian orang memilih cara yang lebih bisa dikendalikan: memilih barang. Mengutip laman health.clevelandclinic.org, Psikolog Dr. Susan Albers, PsyD, menyebut bahwa retail therapy kerap menjadi strategi untuk menghindari emosi sulit yang tak tersampaikan secara langsung.

Dalam studi dari Journal of Consumer Psychology (2014), keputusan belanja bahkan terbukti memberikan ilusi kontrol yang membantu meredam perasaan sedih.

Sahabat Fimela, ketika segala hal terasa di luar kendali, proses memilih produk bisa jadi pengalaman simbolik bahwa kita masih punya kuasa atas hidup kita—meski hanya sebentar.

Belanja jadi ritual kecil untuk menegaskan bahwa kita mampu membuat keputusan, setidaknya terhadap sepatu yang akan dibeli.

Namun jika dilihat lebih dalam, keputusan-keputusan belanja yang impulsif bisa menjadi kode dari emosi yang belum selesai. Bukan soal barangnya, tapi tentang proses mencari validasi bahwa kita masih 'berfungsi'.Sebuah dokumenter menari Netflix "Buy Now: The Online Shopping Conspiracy" mengungkap berbagai trik psikologis yang digunakan perusahaan besar  untuk mendorong perilaku konsumtif pelanggan.

Maren Costa, mantan karyawan Amazon, mengungkap bahwa perubahan warna sederhana pada kalimat seperti "Gratis ongkir jika belanja $25 atau lebih" bisa mempengaruhi keputusan belanja tanpa disadari.

Ia juga membagikan tip penting untuk mencegah belanja impulsif: "If you think you need something, put it in your online cart and leave it there for a month. And if you still want it after a month, it might actually be something you need." Jika kamu merasa membutuhkan sesuatu, masukkan saja ke dalam keranjang belanja onlinemu dan biarkan selama sebulan. Jika setelah sebulan kamu masih menginginkannya, mungkin memang itu adalah sesuatu yang benar-benar kamu butuhkan. Tips ini dianggap bisa membantu konsumen berpikir ulang sebelum membeli barang yang mungkin tidak mereka perlukan.

2. Kepuasan dari Hormon Bahagia yang Instan

Ada alasan ilmiah mengapa belanja bisa menenangkan. Menurut Dr. Albers, aktivitas belanja—bahkan hanya melihat-lihat atau mengisi keranjang online tanpa membeli—bisa memicu pelepasan hormon seperti dopamin dan serotonin. Hormon-hormon ini serupa dengan yang muncul saat kita makan makanan enak atau mendapat pelukan dari orang terkasih.

Tak hanya saat membeli, bahkan antisipasi menuju toko, membayangkan barang yang akan dimiliki, hingga menunggu paket datang bisa mengaktifkan pusat reward di otak. Maka tak heran jika sekadar window shopping atau scroll marketplace bisa menciptakan euforia singkat.

Namun, di balik hormon bahagia itu, penting untuk bertanya: apakah kebahagiaan ini hadir karena kebutuhan, atau karena kita sedang melarikan diri dari sesuatu yang lebih dalam?

3. Visualisasi Kehidupan Ideal: Imajinasi yang Melenakan

Sahabat Fimela, pernahkah imajinasi mengambil alih saat melihat koleksi fashion terbaru? Tiba-tiba kita membayangkan tampil lebih percaya diri, lebih menarik, lebih dicintai. Menurut Dr. Albers, belanja kerap memicu visualisasi positif—membayangkan versi diri yang lebih bahagia.

Ini bukan sekadar gaya hidup konsumtif. Visualisasi adalah alat mental yang sangat kuat, dan banyak digunakan oleh atlet elite atau praktisi mindfulness. Masalahnya, saat realitas terasa berat, imajinasi ini bisa menjadi pelarian dari kenyataan—menawarkan harapan semu melalui barang.

Jika kita terlalu sering bergantung pada imajinasi yang ditawarkan dunia konsumtif, kita bisa kehilangan koneksi dengan kenyataan yang sebenarnya juga layak untuk dirayakan.

4. Stimulasi Sensorik sebagai Bentuk Pelarian Emosional

Masuk ke pusat perbelanjaan bukan hanya soal mencari barang. Aroma makanan, cahaya toko, musik latar, dan warna-warna menarik menciptakan pengalaman sensorik yang menggoda. Dr. Albers menyebut ini sebagai "pelarian dari realitas" yang sifatnya sementara, namun efektif.

Pengalaman ini serupa dengan pelarian saat seseorang menonton film untuk melupakan masalah sejenak. Tapi, jika terus-menerus dilakukan, Sahabat Fimela, bisa membuat kita mengandalkan stimulasi eksternal untuk mengelola emosi, alih-alih belajar berdamai secara internal.

Stimulasi sensorik memang menyenangkan, tapi tanpa kesadaran, ia bisa menjadi candu. Kita mungkin merasa rileks sesudah belanja, namun keesokan harinya, kekosongan itu kembali, menuntut "pelarian" berikutnya.

5. Saat Terapi Ini Berubah Jadi Perangkap Finansial dan Emosional

Batas antara "self-reward" dan perilaku kompulsif bisa sangat tipis. Ketika belanja menjadi respons utama terhadap stres, kecemasan, atau kehilangan, maka kita perlu berhati-hati. Dr. Albers menyebut bahwa penggunaan belanja sebagai satu-satunya coping mechanism bisa mengarah pada kecanduan.

Mungkin awalnya terasa normal—sekadar ingin "menghibur diri". Tapi jika frekuensinya meningkat, jumlah pengeluaran tak lagi rasional, dan emosi negatif tak kunjung membaik, maka belanja bukan lagi terapi, tapi pelarian yang menimbulkan masalah baru.

Sahabat Fimela, penting untuk menumbuhkan kesadaran akan motivasi di balik belanja. Apakah ini tentang menghargai diri sendiri, atau sekadar menutupi rasa tidak aman yang belum diselesaikan?

Terapi atau Pelarian? Kuncinya Ada pada Kesadaran

Retail therapy bisa menjadi cara sehat untuk mencintai diri—asal dilakukan dengan sadar dan tidak impulsif. Belanja memang bisa memicu hormon bahagia, memberi ilusi kendali, bahkan menjadi medium visualisasi dan pelarian sejenak. Namun tanpa kontrol, ia bisa berubah menjadi jerat yang merusak secara emosional dan finansial.

Menurut Dr. Susan Albers, belanja bisa tetap menjadi bentuk self-care jika dilakukan dengan moderasi.

Menyadari emosi yang melatarbelakangi keinginan belanja, menetapkan batasan pengeluaran, dan mencari alternatif sehat seperti olahraga, seni, atau praktik mindfulness adalah cara cerdas agar kita tetap bisa merasa bahagia—tanpa harus membayar terlalu mahal dengan dompet dan kestabilan emosional.

Sahabat Fimela, jangan biarkan perasaan yang tak tersampaikan hanya berakhir di kasir. Biarkan diri belajar merasakannya, bukan melarikan diri darinya.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading
OSZAR »